Jakarta – Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati, mengatakan bahwa upaya menyesuaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi yakni Pertalite dan Solar jadi pilihan terakhir yang harus ditempuh Pemerintah.
“Jadi yang disampaikan oleh Bapak Presiden Joko Widodo dengan menyampaikan langkah merupakan upaya terakhir. Karena sebetulnya kenaikan harga BBM ini sudah mulai terjadi sebetulnya sejak tahun 2021 dalam hal ini semester kedua dimana harga-harga komoditas mulai naik,” kata Menkeu dalam keterangan tertulis yang dikutip dari Kemenkeu.go.id pada Kamis (8/9/2022)
Lebih lanjut Menkeu mengatakan, asumsi harga BBM saat menentukan APBN 2022 yakni $63/barel. Namun dalam perjalanannya, harga BBM ini melonjak sangat tinggi terutama karena terjadinya perang di Ukraina serta sanksi terhadap Rusia yang merupakan salah satu produser minyak dunia. Dengan adanya gejolak tersebut, harga Indonesia Crude Petroleum (ICP) meningkat diatas $100/barel. Sehingga, kenaikan yang jauh di atas asumsi ini menimbulkan suatu tekanan dan pilihan kebijakan bagi Pemerintah untuk membebankan kenaikan dari harga ini langsung kepada masyarakat atau ditahan.
Sebagai langkah awal, Pemerintah mengambil kebijakan untuk menaikkan anggaran subsidi BBM. Dari yang awalnya Rp152 triliun pada APBN 2022 menjadi Rp502,4 triliun sesuai Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2022. Artinya, Pemerintah telah menaikkan 3,4 kali lipat dari anggaran awal.
“Kita mencoba menahan bahkan kalau perlu harus menaikkan anggaran subsidi dan kompensasi hingga 3 kali lipatnya yaitu dari Rp152 triliun menjadi Rp502,4 triliun, itu pun dilakukan. Kebetulan kita memang mendapatkan windfall dari kenaikan harga-harga komoditas sekitar Rp420 triliun. Jadi semua kenaikan ini, pendapatan yang naik ini kita alokasikan untuk menahan kenaikan harga BBM dunia,” jelas Menkeu.
Pemerintah dalam perhitungannya mengasumsikan ICP yaitu $100/barel dan kurs Rp14.450/US$, serta volume untuk Pertalite 23 juta kilo liter dan Solar 15 juta kilo liter. Namun melihat aktivitas masyarakat dan ekonomi yang sudah mulai pulih, anggaran subsidi yang telah direvisi keatas juga dirasa tidak mencukupi. Volume Pertalite diperkirakan melonjak menjadi 29 juta kilo liter, Solar 15 juta kilo liter, serta kurs Rp14.800/US$. Dengan demikian, kenaikan kebutuhan subsidi menjadi jauh lebih tinggi mencapai Rp698 triliun.
Selain itu, pertimbangan lain dari Pemerintah menyesuaikan harga BBM yakni subsidi ini lebih banyak dinikmati oleh masyarakat yang memiliki kemampuan ekonomi lebih baik. Menkeu menyebut, untuk Pertalite 86% penggunanya yakni rumah tangga dimana 80% merupakan kelompok mampu, dan untuk Solar lebih ekstrim 95% digunakan oleh kelompok mampu.
“Inilah yang kemudian menuju kepada pilihan untuk menyesuaikan harga BBM,” pungkas Menkeu.